Kamis, 14 Juni 2012

OBLIGASI SYARIAH DAN SURAT BERJANGKA MENENGAH SYARIAH


 Pengertian Obligasi
Obligasi Konvensional
Menurut bahasa, obligasi berasal dari bahasa Belanda yaitu obligate, kemudian dibakukan ke dalam bahasa Indonesia menjadi obligasi berarti “kontrak”.[1] Sedangkan dalam Pasal 1 Keputusan RI No.755/KMK011/1982 menyebutkan bahwasannya, obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan menjanjikan imbalan bunga yang jumlah serta pembayarannya telah ditentukan terlebih dahulu oleh emiten (badan pelaksana pasar modal).[2]
Obligasi adalah surat utang jangka panjang yang dikeluarkan oleh peminjam dengan kewajiban untuk membayar kepada pemegang obligasi sejumlah bunga tetap yang telah ditetapkan sebelumnya. Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap di atas 10 tahun.
Obligasi Syari’ah
Di dalam Islam, istilah obligasi lebih dikenal dengan istilah sukuk. Merujuk kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil / margin / fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.[3] Obligasi tersebut akan diperdagangkan di tempat bursa efek (stock exchange).[4]


2.2  Pengertian Surat Berharga Syari’ah jangka menengah
Surat berharga ditinjau dari waktu ada 3 macam :
1.      Jangka pendek (masa jatuh tempo kurang dari satu tahun), disebut surat perbendaharaan
2.      Jangka menengah (masa jatuh tempo 1-10 tahun) disebut surat utang/treasury notes
3.      Jangka panjang (masa jatuh tempo 10-30 tahun) dengan sebutan Treasury securities/obligasi
Pada beberapa negara, istilah “obligasi” dan “surat utang” dipergunakan tergantung pada jangka waktu jatuh temponya. Pelaku pasar biasanya menggunakan istilah obligasi untuk penerbitan surat utang dalam jumlah besar yang ditawarkan secara luas kepada publik dan istilah “surat utang” digunakan bagi penerbitan surat utang dalam skala kecil yang biasanya ditawarkan kepada sejumlah kecil investor. Tidak ada pembatasan yang jelas atas penggunaan istilah ini. Ada juga dikenal istilah “surat perbendaharaan” yang digunakan bagi sekuritas berpenghasilan tetap dengan masa jatuh tempo 3 tahun atau kurang[5].
Obligasi memiliki risiko yang tertinggi dibandingkan dengan “surat utang” yang memiliki risiko menengah dan “surat perbendaharaan” yang memiliko risiko terendah yang mana dilihat dari sisi “durasi” surat utang dimana makin pendek durasinya memiliki risiko makin rendah. Obligasi dan saham keduanya adalah merupakan instrumen keuangan yang disebut sekuriti namun bedanya adalah bahwa pemilik saham adalah merupakan bagian dari pemilik perusahan penerbit saham, sedangkan pemegang obligasi adalah semata merupakan pemberi pinjaman atau kreditur kepada penerbit obligasi. Obligasi juga biasanya memiliki suatu jangka waktu yang ditetapkan dimana setelah jangka waktu tersebut tiba maka obligasi dapat diuangkan sedangkan saham dapat dimiliki selamanya[6].
Pengertian SUN (Surat Utang Negara) adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara RI sesuai masa berlakunya. Diinginkan oleh pemerintah untuk membiayai defisit APBN serta menutup kekurangan kas jangka pendek dalam satu tahun anggaran[7].
Pengertian Surat Berharga Syariah Negara
Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian ( حصة ) kepemilikan asset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing[8].
Aset SBSN adalah obyek pembiayaan SBSN dan/atau Barang Milik Negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan, maupun selain tanah dan/atau bangunan yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan dasar penerbitan SBSN.
Imbalan adalah semua pembayaran yang diberikan kepada Pemegang SBSN yang dapat berupa ujrah (uang sewa), bagi hasil, atau bentuk pembayaran lain sesuai dengan akad yang digunakan sampai dengan jatuh tempo SBSN.
Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN.
Akad yang digunakan dalam penerbitan SBSN dapat berupa:
a. Ijarah;
b. Mudharabah;
c. Musyarakah;
d. Istishna’;
e. Akad lain sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

ü  SBSN dapat diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
ü  Penggunaan Aset SBSN harus sesuai dengan prinsip syariah.
ü  Penggunaan dana hasil penerbitan SBSN tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
ü  Pemindahan kepemilikan SBSN oleh pemegang SBSN di pasar sekunder harus mengikuti kaidah yang sesuai dengan sifat akad yang digunakan pada saat penerbitan.
ü  Pemerintah wajib membayar imbalan serta nilai nominal atau dana SBSN kepada pemegang SBSN pada saat jatuh tempo sesuai akad yang digunakan.
ü  Pemerintah boleh membeli sebagian atau seluruh SBSN sebelum jatuh tempo dengan mengikuti ketentuan dalam akad yang digunakan pada saat penerbitan.
ü  Pemerintah atau Perusahaan Penerbit SBSN boleh menerbitkan kembali suatu seri SBSN.

Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai prinsip syariah.
2.3  Aspek Hukum Obligasi Syari’ah
Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 32/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syari’ah, adapun beberapa hal yang dikemukan dalam Fatwa DSN-MUI tersebut adalah sebagai berikut:
a. Landasan hukum Islam obligasi syariah, antara lain :
1). Firman Allah SWT, antara lain :
a) “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...”. (Q.S. Al-Maidah:1).
b) “…dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya”. (Q.S. Al-Isra’:34).
c) “Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni- penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”. (Q.S. Al-Baqarah:275).
2). Hadist Nabi SAW, antara lain :
a) “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (H.R : Imam Al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani).
b) “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan (merugikan) orang lain”. (H.R : Imam Ibnu Majah, Al-Daruquthni, dan yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri).
3). Kaedah Fiqh, antara lain :
a) “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
b) “Kesulitan dapat menarik yang kemudahan”.
c) “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat)”.
d) “Keperluan dapat menduduki posisi darurat”.
            Diantara ketentuan tersebut itu dengan dalih memperhatikan berbagai macam hal, antara lain :
1.      Pendapat para ulama’ tentang keharaman riba.
2.      Pendapat para ulama’ tentang keharaman tentang obligasi yang berbasis konvensional.
3.      Pendapat para ulama’ tentang obligasi syari’ah dengan menggunakan prinsip mudharabah, murabahah, musyarakah, istishna’, ijarah, dan salam.
4.      Fatwa  DSN Nomor : 20/DSN/4/2001 tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk reksa dana syari’ah.
5.      Fatwa-fatwa DSN-MUI tentang murabahah, mudharabah, musyarakah, istishna’, jual-beli salam, dan ijarah.
6.      Surat dari PT. AAA Sekuritas Nomor Reff : 08/IB/VII/02 tanggal 5 juli 2002 tentang Permohonan Fatwa Obligasi Syari’ah.
7.      Pendapat para peserta rapat Pleno DSN-MUI tanggal 14 september 2002 tentang obligasi syari’ah.
Dalam hal ini telah diputuskan mengenai ketentuan umum dan khusus, berikut adalah penjelasannya :
Ketentuan Umum :
a.       Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga.
b.      Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
c.       Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayarkan pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/ margin/ fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Ketentuan Khusus :
1.        Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain :
a.    Mudharabah (Muqaradhah) atau Qiradh.
b.    Musyarakah.
c.    Murabahah.
d.   Salam.
e.    Istishna’.
f.     Ijarah.
2.        Jenis usaha yang dilakukan emiten (Mudharid) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI No.20/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah.
3.        Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal.
4.        Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang obligasi syariah sesuai dengan yang digunakan.
5.        Pemindahan kepemilikan obligasi syariah dapat mengikuti akad-akad yang digunakan.
Dalam hal apabila terjadi suatu perselisihan, maka cara penyelesaiannya adalah jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[9]
Adapun mengenai aspek-aspek hukum obligasi yang lainnya adalah sebagai berikut :
Ø  Keputusan RI No.755/KMK011/1982 Pasal 1. Yang telah menegaskan bahwasannya, obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan menjanjikan imbalan bunga yang jumlah serta pembayarannya telah ditentukan terlebih dahulu oleh emiten (badan pelaksana pasar modal).[10]
Ø  UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995. Yang telah menegaskan bahwasannya obligasi adalah surat berharga jangka panjang yang bersifat hutang yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada priode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo”.[11]
Ø  Fatwa DSN No. 40/DSN-MUI/IX/2003 Tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syari’ah Di Bidang Pasar Modal.
Ø  Fatwa DSN No. 69/DSN-MUI/VI/2008 Tentang Surat Berharga Syari’ah Negara. Yang telah menegaskan bahwasannya, surat berharga syari’ah Negara adalah surat berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syari’ah sebagai bukti atas bagian kepemilikan asset SBSN, baik dalam mata rupiah maupun valuta asing.[12]
Ø  Fatwa DSN No. 33/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syari’ah Mudharabah. Yang telah menegaskan bahwasannya, obligasi syari’ah mudharabah adalah obligasi syari’ah yang berdasarkan akad mudharabah dengan mempehatikan substansi Fatwa DSN-MUI No. 7/DSN-MUI/IV/2007 Tentang Pembiayaan Mudharabah.[13]
Ø  Fatwa DSN No. 41/DSN-MUI/III/2004 Tentang Obligasi Syari’ah Ijarah. Yang telah menegaskan bahwasannya, obligasi syari’ah ijarah adalah obligasi syari’ah yang berdasarkan akad ijarah dengan mempehatikan substansi Fatwa DSN-MUI No. 9/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah.[14]
Ø  Fatwa DSN No. 59/DSN-MUI/V/2007 Tentang Obligasi Syari’ah Mudharabah Konversi. Yang telah menegaskan bahwasannya, obligasi syari’ah mudharabah konversi adalah obligasi syari’ah yang diterbitkan oleh emiten berdasarkan prinsip mudharabah dalam rangka menambah kebutuhan modal kerja, dengan opsi investor dapat mengkonversi obligasi menjadi saham emiten pada saat jath tempo.[15]
Ø  KHES Buku II Tentang Akad, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 20 angka 23, yang menegaskan bahwasannya, obligasi syari’ah adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syari’ah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat berharga baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.[16]
Ø  KHES Buku II Tentang Akad, Bab XXI Mengenai Obligasi Syari’ah Mudharabah, yakni :
Pasal 575
Transaksi yang digunakan dalam Obligasi Syari'ah Mudharabah adalah pelaksanaan akad Mudharabah.
Pasal 576
Jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan ketentuan dan prinsip Reksa Dana Syari'ah.
Pasal 577
(1)      Pendapatan/hasil investasi yang dibagikan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari'ah Mudharabah harus bersih dari unsur non halal;
(2)      Nisbah keuntungan dalam Obligasi Syari'ah Mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan, sebelum penerbitan Obligasi Syari'ah Mudharabah;
(3)      Pembagian pendapatan/hasil dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan.
Pasal 578
Apabila emiten lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas, maka emiten berkewajiban menjamin pengembalian dana mudharabah, dan pemegang obligasi syari'ah mudharabah dapat meminta emiten untuk membuat surat pengakuan utang.
Pasal 579
Apabila emiten diketahui lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas kepada pihak lain, pemegang obligasi syari'ah mudharabah dapat menarik dana obligasi syari'ah mudharabah.
Pasal 580
Kepemilikan obligasi syari'ah mudharabah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.[17]
Ø  KHES Buku II Tentang Akad, Bab XXV Mengenai Obligasi Syari’ah, yakni :
Pasal 605
Penerbitan obligasi dapat digunakan antara lain dalam transaksi:
a.       mudharabah/muqaradhah;
b.      qiradh;
c.       musyarakah;
d.      murabahah;
e.       salam;
f.       istishna; dan
g.      ijarah.
Pasal 606
Jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syari'ah tentang pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syari'ah.
Pasal 607
(1)      Pendapatan/hasil investasi yang dibagikan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari'ah Mudharabah harus bersih dari unsur non halal.
(2)      Pendapatan/hasil yang diperoleh pemegang Obligasi Syari'ah sesuai transaksi yang digunakan.
Pasal 608
Pemindahan kepemilikan obligasi syari'ah mengikuti transaksi-transaksi yang digunakan.[18]

2.4  Aspek Hukum Surat Berharga  jangka menengah
1.      K eputusan Menkeu Nomor 66/KMK.01/2003 tentang Penunjukan Bank Indonesia Sebagai Agen untuk Melaksanakan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
2.      Keputusan Menkeu Nomor 66/KMK.01/2003 tentang Penunjukan Bank Indonesia Sebagai Agen untuk Melaksanakan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
3.       Keputusan Menteri Keuangan Nomor 514/KMK.08/2010   tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 380/KMK.08/2010 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2010-2014
4.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.08/2008 tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
5.      Peraturan Menkeu Nomor 217/PMK.08/2008   Penjualan Surat Utang Negara dalam Valuta Asing di Pasar Perdana Internasional
6.      Peraturan Menkeu Nomor 170/PMK.08/2008   Transaksi Surat Utang Negara Secara Langsung
7.      Peraturan Menkeu Nomor 08/PMK.08/2009   Penjualan Surat Utang Negara dengan cara Private Placement di Pasar Perdana Dalam Negeri
8.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.08/2009 tentang Lelang pembelian Kembali Surat Utang Negara
9.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.08/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 170/PMK.08/2008 tentang Transaksi Surat Utang Negara Secara Langsung
10.  Undang-undang Nomor.19 tahun 2008 Tentang surat berharga syariah negara
1.      Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 69/DSN-MUI/VI/2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara
ü  Firman Allah SWT., antara lain:
-          QS. An-Nisaa’ [4]: 29
   $ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.


-          QS. Al-Baqarah [2]: 275
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ  
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
-          QS. Al-Baqarah [2]: 278
-          QS. Al-Maidah [5]: 1
ü  Hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, antara lain:
-          Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ad-Daruquthni dari
Sa`d Ibn Abi Waqqash (teks Abu Dawud),
ia berkata: “Dulu kami menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertanian yang tumbuh di pinggir selokan dan yang tumbuh di bagian yang dialiri air; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”
-          Hadits Nabi riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas :
 “Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.”
-          Hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah,
Rasulullah SAW berkata:
 “Allah SWT berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.”
-          Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
ü  Kaidah Fiqih:
 “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
 “Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat.” (Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazha’ir, tahqiq: Muhammad al-Mu’tashim bi Allah al-Baghdadi, [Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987], 233)
ü  Pendapat para ulama tentang kebijakan pemerintah; antara lain:
 “Imam (kepala negara, pemegang otoritas) boleh melakukan kebijakan terhadap kekayaan negara untuk hal-hal yang dipandangnnya mengandung maslahat bagi mereka (warga negara); di antara kemaslahatan tersebut adalah menjual sebagian kekayaan baitul mal (perbendaharaan negara) guna menghimpun dana yang cukup untuk membiayai kemaslahatan dan kebutuhan umum mereka. Hal itu mengingat bahwa kebijakan Imam, apabila didasarkan pada maslahat yang berhubungan dengan urusan umum, dipandang tidak sah menurut hokum Syariah kecuali jika sesuai dengan maslahah; jika tidak sesuai dengan maslahah maka kebijakan tersebut tidak sah”(lihat Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazha’ir, tahqiq: ’Abd al-’Aziz Muhammad al-Wakil, [al-Qahirah: Mu’assasah al-Halabi, 1968], h. 124; Walid Khalid al-Syayiji, al-Madkhal ila al-Maliyah al- ’Ammah al-Islamiyah, [Yordan: Dar al-Nafa’is, 2005], h. 201-202).

 “Sultan (kepala negara) boleh menjual tanah baitul mal… karena imam (kepala negara, pemegang otoritas) memiliki kekuasaan umum; dan ia boleh melakukan kebijakan untuk kemaslahatan umat Islam.(lihat Ibn ’Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar, [Beirut:Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2003], jilid 6, h. 298)
-          Pendapat para ulama tentang mobilisasi dana untuk menutup
3        defisit anggaran pemerintah (lihat, antara lain, Mundzir Qahf, al-Siyasah al-Maliyah Dawruha wa Dhawabithuha fi al-Iqtishad al-
Islami, [Damsyiq: Dar al-.



[1] Junaedi, Transaksi Jual Beli Obligasi Dan Saham Di Pasar Modal Indonesia Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), hal : 52.
[2] Nazir, dkk., Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah, (Bandung : Kaki Langit, 2004), hal : 37.
[3] Edwin Nasution Mustafa, Huda Nurul, Investasi Pada Pasar Modal, (Jakarta : Kencana, 2007), hal : 85-86.
[4] S.R. Soemarso, Akuntansi Suatu Pengantar, (Jakarta : Salemba Empat, 2004), hal : 319.
[5] Ibid
[6] http://www.investasi-saham.com/obligasi/ori-dan-sukuk-ritel/

[7] Undang-undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara Bab I
[8] Undang-undang nomor.19 tahun 2008 Tentang Surat berharga syariah Negara Bab I Pasal 1
[9] Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Tentang Obligasi Syari’ah.
[10] Keputusan RI No.755/KMK011/1982.
[11] UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995.
[12] Fatwa DSN No. 69/DSN-MUI/VI/2008 Tentang Surat Berharga Syari’ah Negara.
[13] Fatwa DSN No. 33/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syari’ah Mudharabah.
[14] Fatwa DSN No. 41/DSN-MUI/III/2004 Tentang Obligasi Syari’ah Ijarah.
[15] Fatwa DSN No. 59/DSN-MUI/V/2007 Tentang Obligasi Syari’ah Mudharabah Konversi.
[16] KHES Buku II Tentang Akad, Bab I.
[17] KHES Buku II Tentang Akad, Bab XXI Mengenai Obligasi Syari’ah Mudharabah.
[18] KHES Buku II Tentang Akad, Bab XXV Mengenai Obligasi Syari’ah.