Pengertian
Obligasi
Obligasi
Konvensional
Menurut bahasa, obligasi berasal
dari bahasa Belanda yaitu obligate, kemudian dibakukan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi obligasi berarti “kontrak”.[1]
Sedangkan dalam Pasal 1 Keputusan RI No.755/KMK011/1982 menyebutkan
bahwasannya, obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas
pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya
tiga tahun dengan menjanjikan imbalan bunga yang jumlah serta
pembayarannya telah ditentukan terlebih dahulu oleh emiten (badan pelaksana
pasar modal).[2]
Obligasi adalah surat utang jangka
panjang yang dikeluarkan oleh peminjam dengan kewajiban untuk membayar kepada
pemegang obligasi sejumlah bunga tetap yang telah ditetapkan sebelumnya.
Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang
merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang
obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon
bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Obligasi pada umumnya
diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap di atas 10 tahun.
Obligasi Syari’ah
Di dalam Islam, istilah obligasi
lebih dikenal dengan istilah sukuk. Merujuk kepada Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Obligasi Syariah adalah suatu surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan
emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil /
margin / fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat
jatuh tempo.[3]
Obligasi tersebut akan diperdagangkan di tempat bursa efek (stock exchange).[4]
2.2
Pengertian
Surat Berharga Syari’ah jangka menengah
Surat berharga ditinjau dari waktu ada 3 macam :
1.
Jangka pendek (masa jatuh tempo kurang dari satu tahun), disebut
surat perbendaharaan
2.
Jangka menengah (masa jatuh tempo 1-10 tahun) disebut surat
utang/treasury notes
3.
Jangka panjang (masa jatuh tempo 10-30 tahun) dengan sebutan
Treasury securities/obligasi
Pada beberapa negara, istilah “obligasi” dan “surat
utang” dipergunakan tergantung pada jangka waktu jatuh temponya. Pelaku pasar
biasanya menggunakan istilah obligasi untuk penerbitan surat utang dalam jumlah
besar yang ditawarkan secara luas kepada publik dan istilah “surat utang”
digunakan bagi penerbitan surat utang dalam skala kecil yang biasanya
ditawarkan kepada sejumlah kecil investor. Tidak ada pembatasan yang jelas atas
penggunaan istilah ini. Ada juga dikenal istilah “surat perbendaharaan” yang
digunakan bagi sekuritas berpenghasilan tetap dengan masa jatuh tempo 3 tahun
atau kurang[5].
Obligasi
memiliki risiko yang tertinggi dibandingkan dengan “surat utang” yang memiliki
risiko menengah dan “surat perbendaharaan” yang memiliko risiko terendah yang
mana dilihat dari sisi “durasi” surat utang dimana makin pendek durasinya
memiliki risiko makin rendah. Obligasi dan saham keduanya adalah merupakan
instrumen keuangan yang disebut sekuriti namun bedanya adalah bahwa pemilik
saham adalah merupakan bagian dari pemilik perusahan penerbit saham, sedangkan
pemegang obligasi adalah semata merupakan pemberi pinjaman atau kreditur kepada
penerbit obligasi. Obligasi juga biasanya memiliki suatu jangka waktu yang
ditetapkan dimana setelah jangka waktu tersebut tiba maka obligasi dapat
diuangkan sedangkan saham dapat dimiliki selamanya[6].
Pengertian
SUN (Surat Utang Negara) adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara RI sesuai masa
berlakunya. Diinginkan oleh pemerintah untuk membiayai defisit APBN serta
menutup kekurangan kas jangka pendek dalam satu tahun anggaran[7].
Pengertian
Surat Berharga Syariah Negara
Surat
Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah Surat Berharga
Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
( حصة
) kepemilikan asset SBSN,
baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing[8].
Aset
SBSN adalah obyek pembiayaan SBSN dan/atau Barang Milik Negara (BMN) yang
memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan, maupun selain tanah
dan/atau bangunan yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan dasar penerbitan
SBSN.
Imbalan
adalah semua pembayaran yang diberikan kepada Pemegang SBSN yang dapat berupa ujrah
(uang sewa), bagi hasil, atau bentuk pembayaran lain sesuai dengan akad
yang digunakan sampai dengan jatuh tempo SBSN.
Perusahaan
Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan untuk melaksanakan kegiatan
penerbitan SBSN.
Akad yang digunakan dalam penerbitan SBSN dapat berupa:
a. Ijarah;
b. Mudharabah;
c. Musyarakah;
d. Istishna’;
e. Akad lain sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
ü SBSN dapat diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah
atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
ü Penggunaan Aset SBSN harus sesuai dengan prinsip
syariah.
ü Penggunaan dana hasil penerbitan SBSN tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.
ü Pemindahan kepemilikan SBSN oleh pemegang SBSN di pasar
sekunder harus mengikuti kaidah yang sesuai dengan sifat akad yang digunakan
pada saat penerbitan.
ü Pemerintah wajib membayar imbalan serta nilai nominal
atau dana SBSN kepada pemegang SBSN pada saat jatuh tempo sesuai akad yang
digunakan.
ü Pemerintah boleh membeli sebagian atau seluruh SBSN
sebelum jatuh tempo dengan mengikuti ketentuan dalam akad yang digunakan pada
saat penerbitan.
ü Pemerintah atau Perusahaan Penerbit SBSN boleh
menerbitkan kembali suatu seri SBSN.
Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan sesuai prinsip syariah.
2.3
Aspek
Hukum Obligasi Syari’ah
Dalam hal ini sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor :
32/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syari’ah, adapun beberapa hal yang
dikemukan dalam Fatwa DSN-MUI tersebut adalah sebagai berikut:
a. Landasan hukum Islam obligasi syariah, antara lain :
1). Firman Allah SWT, antara lain :
a)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...”. (Q.S. Al-Maidah:1).
b)
“…dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung
jawabannya”. (Q.S. Al-Isra’:34).
c)
“Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni- penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”. (Q.S.
Al-Baqarah:275).
2). Hadist Nabi SAW, antara lain :
a)
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat
dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram”. (H.R : Imam Al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf
Al-Muzani).
b)
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan
(merugikan) orang lain”. (H.R : Imam Ibnu Majah, Al-Daruquthni, dan yang lain,
dari Abu Sa’id al-Khudri).
3). Kaedah Fiqh, antara lain :
a)
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”.
b) “Kesulitan dapat menarik yang
kemudahan”.
c)
“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang
berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat)”.
d)
“Keperluan dapat menduduki posisi darurat”.
Diantara ketentuan
tersebut itu dengan dalih memperhatikan berbagai macam hal, antara lain :
1.
Pendapat
para ulama’ tentang keharaman riba.
2.
Pendapat
para ulama’ tentang keharaman tentang obligasi yang berbasis konvensional.
3.
Pendapat
para ulama’ tentang obligasi syari’ah dengan menggunakan prinsip mudharabah,
murabahah, musyarakah, istishna’, ijarah, dan salam.
4.
Fatwa
DSN Nomor : 20/DSN/4/2001 tentang
pedoman pelaksanaan investasi untuk reksa dana syari’ah.
5.
Fatwa-fatwa
DSN-MUI tentang murabahah, mudharabah, musyarakah, istishna’, jual-beli salam,
dan ijarah.
6.
Surat
dari PT. AAA Sekuritas Nomor Reff : 08/IB/VII/02 tanggal 5 juli 2002 tentang
Permohonan Fatwa Obligasi Syari’ah.
7.
Pendapat
para peserta rapat Pleno DSN-MUI tanggal 14 september 2002 tentang obligasi
syari’ah.
Dalam hal ini telah diputuskan
mengenai ketentuan umum dan khusus, berikut adalah penjelasannya :
Ketentuan Umum :
a.
Obligasi
yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang
dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga.
b.
Obligasi
yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip
syariah.
c.
Obligasi
syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten
untuk membayarkan pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi
hasil/ margin/ fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh
tempo.
Ketentuan
Khusus :
1.
Akad
yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain :
a.
Mudharabah
(Muqaradhah) atau Qiradh.
b.
Musyarakah.
c.
Murabahah.
d.
Salam.
e.
Istishna’.
f.
Ijarah.
2.
Jenis
usaha yang dilakukan emiten (Mudharid) tidak boleh bertentangan dengan
syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI No.20/DSN-MUI/IV/2001
Tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah.
3.
Pendapatan
(hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang
Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non
halal.
4.
Pendapatan
(hasil) yang diperoleh pemegang obligasi syariah sesuai dengan yang digunakan.
5.
Pemindahan
kepemilikan obligasi syariah dapat mengikuti akad-akad yang digunakan.
Dalam hal apabila terjadi suatu perselisihan, maka cara penyelesaiannya
adalah jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.[9]
Adapun mengenai aspek-aspek hukum obligasi yang lainnya adalah
sebagai berikut :
Ø Keputusan RI No.755/KMK011/1982 Pasal 1. Yang telah
menegaskan bahwasannya, obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang
atas pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka
waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan menjanjikan imbalan bunga
yang jumlah serta pembayarannya telah ditentukan terlebih dahulu oleh
emiten (badan pelaksana pasar modal).[10]
Ø UU Pasar Modal
No. 8 tahun 1995. Yang telah menegaskan bahwasannya obligasi adalah surat
berharga jangka panjang yang bersifat hutang yang dikeluarkan oleh emiten
kepada pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada priode tertentu
dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo”.[11]
Ø Fatwa DSN No. 40/DSN-MUI/IX/2003 Tentang Pasar Modal dan Pedoman
Umum Penerapan Prinsip Syari’ah Di Bidang Pasar Modal.
Ø Fatwa DSN No. 69/DSN-MUI/VI/2008 Tentang Surat Berharga Syari’ah
Negara. Yang telah menegaskan bahwasannya, surat berharga syari’ah Negara
adalah surat berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syari’ah
sebagai bukti atas bagian kepemilikan asset SBSN, baik dalam mata rupiah maupun
valuta asing.[12]
Ø Fatwa DSN No. 33/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syari’ah
Mudharabah. Yang telah menegaskan bahwasannya, obligasi syari’ah mudharabah
adalah obligasi syari’ah yang berdasarkan akad mudharabah dengan mempehatikan
substansi Fatwa DSN-MUI No. 7/DSN-MUI/IV/2007 Tentang Pembiayaan Mudharabah.[13]
Ø Fatwa DSN No. 41/DSN-MUI/III/2004 Tentang Obligasi Syari’ah Ijarah.
Yang telah menegaskan bahwasannya, obligasi syari’ah ijarah adalah obligasi
syari’ah yang berdasarkan akad ijarah dengan mempehatikan substansi Fatwa
DSN-MUI No. 9/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah.[14]
Ø Fatwa DSN No. 59/DSN-MUI/V/2007 Tentang Obligasi Syari’ah
Mudharabah Konversi. Yang telah menegaskan bahwasannya, obligasi syari’ah
mudharabah konversi adalah obligasi syari’ah yang diterbitkan oleh emiten
berdasarkan prinsip mudharabah dalam rangka menambah kebutuhan modal kerja,
dengan opsi investor dapat mengkonversi obligasi menjadi saham emiten pada saat
jath tempo.[15]
Ø KHES Buku II Tentang Akad, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 20 angka 23,
yang menegaskan bahwasannya, obligasi syari’ah adalah surat
berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syari’ah sebagai bukti atas
bagian penyertaan terhadap aset surat berharga baik dalam mata uang rupiah
maupun valuta asing.[16]
Ø KHES Buku II Tentang Akad, Bab XXI Mengenai Obligasi Syari’ah
Mudharabah, yakni :
Pasal 575
Transaksi
yang digunakan dalam Obligasi Syari'ah Mudharabah adalah pelaksanaan
akad Mudharabah.
Pasal 576
Jenis
usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah
dengan memperhatikan ketentuan dan prinsip Reksa Dana Syari'ah.
Pasal 577
(1) Pendapatan/hasil
investasi yang dibagikan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari'ah Mudharabah
harus bersih dari unsur non halal;
(2) Nisbah
keuntungan dalam Obligasi Syari'ah Mudharabah ditentukan sesuai
kesepakatan, sebelum penerbitan Obligasi Syari'ah Mudharabah;
(3) Pembagian
pendapatan/hasil dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan
ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan.
Pasal 578
Apabila
emiten lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas,
maka emiten berkewajiban menjamin pengembalian dana mudharabah, dan
pemegang obligasi syari'ah mudharabah dapat meminta emiten untuk membuat
surat pengakuan utang.
Pasal 579
Apabila
emiten diketahui lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui
batas kepada pihak lain, pemegang obligasi syari'ah mudharabah dapat
menarik dana obligasi syari'ah mudharabah.
Pasal 580
Kepemilikan
obligasi syari'ah mudharabah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama
disepakati dalam akad.[17]
Ø KHES Buku II Tentang Akad, Bab XXV Mengenai Obligasi Syari’ah,
yakni :
Pasal 605
Penerbitan
obligasi dapat digunakan antara lain dalam transaksi:
a. mudharabah/muqaradhah;
b. qiradh;
c. musyarakah;
d. murabahah;
e. salam;
f. istishna; dan
g. ijarah.
Pasal 606
Jenis
usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syari'ah tentang
pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syari'ah.
Pasal 607
(1) Pendapatan/hasil
investasi yang dibagikan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari'ah Mudharabah
harus bersih dari unsur non halal.
(2) Pendapatan/hasil
yang diperoleh pemegang Obligasi Syari'ah sesuai transaksi yang digunakan.
Pasal 608
Pemindahan
kepemilikan obligasi syari'ah mengikuti transaksi-transaksi yang digunakan.[18]
2.4
Aspek
Hukum Surat Berharga jangka menengah
1.
K
eputusan Menkeu Nomor 66/KMK.01/2003 tentang Penunjukan Bank
Indonesia Sebagai Agen untuk Melaksanakan Lelang Surat Utang Negara di Pasar
Perdana
2.
Keputusan
Menkeu Nomor 66/KMK.01/2003 tentang Penunjukan Bank Indonesia Sebagai Agen
untuk Melaksanakan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
3.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
514/KMK.08/2010 tentang Perubahan Atas
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 380/KMK.08/2010 tentang Strategi Pengelolaan
Utang Negara Tahun 2010-2014
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
50/PMK.08/2008 tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
5. Peraturan Menkeu Nomor
217/PMK.08/2008 Penjualan Surat Utang
Negara dalam Valuta Asing di Pasar Perdana Internasional
6. Peraturan Menkeu Nomor
170/PMK.08/2008 Transaksi Surat Utang
Negara Secara Langsung
7. Peraturan Menkeu Nomor
08/PMK.08/2009 Penjualan Surat Utang
Negara dengan cara Private Placement di Pasar Perdana Dalam Negeri
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
209/PMK.08/2009 tentang Lelang pembelian Kembali Surat Utang Negara
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
126/PMK.08/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan No.
170/PMK.08/2008 tentang Transaksi Surat Utang Negara Secara Langsung
10. Undang-undang Nomor.19 tahun 2008 Tentang
surat berharga syariah negara
1. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
69/DSN-MUI/VI/2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara
ü Firman Allah SWT., antara lain:
-
QS. An-Nisaa’ [4]: 29
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
29.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
[287] Larangan membunuh diri sendiri
mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti
membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
-
QS. Al-Baqarah [2]: 275
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.
-
QS. Al-Baqarah [2]: 278
-
QS. Al-Maidah [5]: 1
ü Hadits-hadits Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, antara lain:
-
Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan
Ad-Daruquthni dari
Sa`d Ibn Abi Waqqash (teks Abu
Dawud),
ia berkata: “Dulu kami
menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertanian yang tumbuh di pinggir
selokan dan yang tumbuh di bagian yang dialiri air; maka, Rasulullah melarang
kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan
emas atau perak.”
-
Hadits Nabi riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas
:
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan
harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak
mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak.
Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung
resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya.”
-
Hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dari Abu
Hurairah,
Rasulullah SAW berkata:
“Allah SWT berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga
dari dua orang
yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain.
Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.”
-
Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah
dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di
antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
ü Kaidah Fiqih:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
“Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap
rakyat harus mengikuti mashlahat.” (Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazha’ir, tahqiq:
Muhammad al-Mu’tashim bi Allah al-Baghdadi, [Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1987], 233)
ü Pendapat para ulama tentang
kebijakan pemerintah; antara lain:
“Imam (kepala negara, pemegang otoritas) boleh
melakukan kebijakan terhadap kekayaan negara untuk hal-hal yang dipandangnnya
mengandung maslahat bagi mereka (warga negara); di antara kemaslahatan tersebut
adalah menjual sebagian kekayaan baitul mal (perbendaharaan negara) guna
menghimpun dana yang cukup untuk membiayai kemaslahatan dan kebutuhan umum
mereka. Hal itu mengingat bahwa kebijakan Imam, apabila didasarkan pada
maslahat yang berhubungan dengan urusan umum, dipandang tidak sah menurut hokum
Syariah kecuali jika sesuai dengan maslahah; jika tidak sesuai dengan maslahah
maka kebijakan tersebut tidak sah”(lihat Ibn Nujaim, al-Asybah wa
al-Nazha’ir, tahqiq: ’Abd al-’Aziz Muhammad al-Wakil, [al-Qahirah:
Mu’assasah al-Halabi, 1968], h. 124; Walid Khalid al-Syayiji, al-Madkhal ila
al-Maliyah al- ’Ammah al-Islamiyah, [Yordan: Dar al-Nafa’is, 2005], h.
201-202).
“Sultan (kepala negara) boleh menjual tanah
baitul mal… karena imam (kepala negara, pemegang otoritas) memiliki kekuasaan
umum; dan ia boleh melakukan kebijakan untuk kemaslahatan umat Islam.(lihat Ibn ’Abidin, Hasyiyah
Radd al-Muhtar, [Beirut:Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2003], jilid 6, h. 298)
-
Pendapat para ulama tentang mobilisasi dana
untuk menutup
3
defisit anggaran pemerintah (lihat, antara
lain, Mundzir Qahf, al-Siyasah al-Maliyah Dawruha wa Dhawabithuha fi
al-Iqtishad al-
Islami, [Damsyiq: Dar al-.
[1]
Junaedi, Transaksi Jual Beli Obligasi Dan Saham Di Pasar Modal Indonesia Ditinjau
Dari Segi Hukum Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), hal : 52.
[2] Nazir,
dkk., Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah, (Bandung : Kaki Langit,
2004), hal : 37.
[3] Edwin Nasution Mustafa, Huda Nurul, Investasi
Pada Pasar Modal, (Jakarta : Kencana, 2007), hal : 85-86.
[4]
S.R. Soemarso, Akuntansi Suatu Pengantar, (Jakarta : Salemba Empat,
2004), hal : 319.
[5] Ibid
[6] http://www.investasi-saham.com/obligasi/ori-dan-sukuk-ritel/
[7] Undang-undang
Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara Bab I
[8]
Undang-undang nomor.19 tahun 2008 Tentang Surat berharga syariah Negara Bab I
Pasal 1
[9]
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Tentang Obligasi
Syari’ah.
[10] Keputusan
RI No.755/KMK011/1982.
[12] Fatwa DSN
No. 69/DSN-MUI/VI/2008 Tentang Surat Berharga Syari’ah Negara.
[13] Fatwa DSN
No. 33/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syari’ah Mudharabah.
[14] Fatwa DSN
No. 41/DSN-MUI/III/2004 Tentang Obligasi Syari’ah Ijarah.
[15] Fatwa DSN
No. 59/DSN-MUI/V/2007 Tentang Obligasi Syari’ah Mudharabah Konversi.
[16] KHES Buku
II Tentang Akad, Bab I.
[17] KHES Buku
II Tentang Akad, Bab XXI Mengenai Obligasi Syari’ah Mudharabah.
[18] KHES Buku
II Tentang Akad, Bab XXV Mengenai Obligasi Syari’ah.