Kamis, 05 April 2012

SEBAB-SEBAB TIMBULNYA ALIRAN POLITIK DALAM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Siyasah Syar’iyyah adalah urusan kemanusiaan saja yang tidak ada pengaturannya dalam Nash, akan tetapi tetap pada prinsip-prinsip hukum Islam dalam Nash.
Manusia pasti membutuhkan pengurusan, kekuasaan, pengawasaan, dan pemimpin yang melahirkan kesejahteraan untuk semua masyarakat. Karena tidak ada dalam Nash secara tegas tentang siyasah lahirlah pemikiran-pemikiran politik dari para cendekian  Islam yang berusaha mencari hubungan antara politik dengan Islam.
Seiring waktu setelah Nabi dan Khalifah wafat, perselisihan semakin banyak dan akhirnya melahirkan kelompok-kelompok yang telah mengandung politik tersendiri. Dan dalam kelompok-kelompok itu telah memiliki idealisme masing-masing dalam menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin dan bagaimana syarat-syaratnya.
1.2  Rumusan Masalah
  
1.      Apa Pengertian Politik Dalam Islam ?
2.      Sejarah Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam?
3.      Sebab Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam?




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Politik Dalam Islam
Istilah politik yang dimaksud dalam Islam berasal dari kata :
ساس يسوس سياسة yang berarti mengatur, mengendalikan, mengurus dan membuat keputusan, oleh karena itu arti siyasah/politik secara etimologi adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasan dan lain-lain[1].
Sedangkan makna istilah, fiqh siyasah atau siyasah al-syar’iyyah diartikan sebagai berikut:
1.      Menurut Ahmad Fathi:
تد بير مصـــالح العباد على وفق الشرع
”Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara” (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah al-jinaiyyah fi al-syari\’at al-Islamiyah).
2.      Abdul Wahab al Khalaf
Siyasah syar’iyyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara yang menjamin perwujudan kemaslahatan dan penolakan kemidlaratandengan tidak melewati batas-batas syariah dan pokok-pokok syariah yang kully, meskipun tidak sesuai dengan pendapat-pendapat ulama’ mujtahid[2].
Konsep politik tradisional dalam Islam mencakup kepemimpinan dengan penerus Nabi dikenal sebagai khalifah , (Imamah untuk Syiah) pentingnya mengikuti hukum Islam atau Syariah  tugas penguasa untuk mencari Syura atau konsultasi dari mata pelajaran mereka, dan pentingnya menegur adil penguasa tetapi tidak mendorong pemberontakan terhadap mereka. 
Sementara fungsi siyasah syar’iyyah meliputi fungsi pelayanan khidmah dan fungsi pengarahan ishlah, keduanya harus berjalan beriringan dengan rambu-rambu syari’ah yaitu :
1.      Dalil-dalil kully (baik yang tertuang dalam Al-Qur’an atau Hadist)
2.      Maqashid al-syariah
3.      Semangat ajaran, dan
4.      Kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah[3]
2.2  Sejarah Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam
1.      Masa Rasulullah
H.R.  Gibb dalam memandang peran Muhammad setidaknya menggunakan dua periode besar, yakni periode Makkah  dan periode Madinah. Dalam periode  Makkah,  kedudukan  Muhammad disebutnya sebagai Nabi semata, semisal dengan Isa. Ia tidak pernah memaklumkan sebuah komunitas baru dengan segala prinsip-prinsipnya.  Ia juga  tidak melakukan usaha-usaha proteksi dengan kekuatan senjata meski ia dipojokkan.   Tidak  pernah ditemukan  sebuah   konflik politik   yang  besar, yang kemudian memungkinkan terjadinya  perang  antara kaum Muhammad dengan  kaum  Arab  lainnya. Bahkan dipandang dalam  kehidupan  di Makkah ini, Muhammad sebagai  seorang  Nabi,  seorang yang  egaliter, yang  tidak membedakan  antara  umat beriman dengan tidak beriman. Sedangkan dalam periode Madinah,  fungsi  dan peran kenabian dari Muhammad berpindah menjadi  fungsi seorang raja.   Dalam pandangan Gibb,   Muhammad menempatkan dirinya  sebagai seorang pemimpin Islam dari  komunitas masyarakat Islam yang khas.  Ia  tidak hanya  menjalankan peran kenabian akan  tetapi  lebih menjalankan  tugas seorang raja yang mengatur  suatu komunitas.[4]
2.      Masa Khulafa al Rasyidin
Persoalan siyasah pertama dihadapi kaum muslimin setelah Nabi wafat. Sebelum Rasul wafat, beliau tidak menentukan siapa penggantinya, sehingga dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala Negara dan berbagai criteria yang sesuai sosiojistoris yang ada. Sahabat Abu Bakar ditetapkan khalifah berdasarkan “pemilihan suatu musyawarah terbuka”, Umar bin Khattab melewati “penunjukkan oleh kepala Negara pendahulunya”, Usman bin Affan berdasarkan “pemilihan dalam suatu dewan formatur” dan Ali bin Abu Thalib melalui musyawarah dalam pertemuan terbuka[5].
3.      Masa pasca Khulafa al Rasyidin
Setelah masa kekhilafahan, timbullah masa dinasti yaitu kekuasaan yang dipegang oleh keturunan Umayah dan kemudian keturunan Abasiyah, pada suatu kurun waktu tertentu, di dunia Islam dikenal 3 dinasti : dinasti Abbasiyah di Baghdad, dinasti Umayyah di Andalusia, dan dinasti Fathimiyyah di Mesir.
Pada masa Nabi tercermin prinsip-prinsip siyasah dari adanya piagam Madinah yang dipegung teguh oleh para Khulafa al Rasyidin, prinsip-prinsip itu berupa : persatuan, persamaan, keadilan, perdamaian, musyawarah, kemanusiaan, kejujuran dan pemimpin sebagai abdi masyarakat, tapi pada masa dinasti prinsip-prinsip itu tergeser sehingga kekuasaan yang menjadi panglima dan bukan hukum menjadi panglima dengan perebutan kekuasaan. Akhirnya tergambarkan dari keruntuhan kekuasaan Abbasiyah dan Umayyah[6].
4.      Pada Pertengahan Abad Kedua Puluh
Masa ini terjadi dekolonisasi Negara-negara muslim yang terpisah satu sama lain akibat kolonial, mulai memerdekakan diri yang umumnya negeri-negeri merdeka ini dipimpin pimpinan yang terdidik secara barat.
Dunia Islam dewasa ini dilihat dari pelaksanaan siyasah syar’iyyah dapt dibagi menjadi 3 tipe :
1.      Negara yang melaksanakan hukum Islam secara penuh, pola integralistik
2.      Negara yang menolak hukum Islam secara penuh, pola sekuleristik
3.      Negara yang tidak menjadikan sebagai suatu kekuatan struktural (dalam sektor politik) tetapi menempatkannya sebagai kekuatan kultural atau mencari kompromi, pola simbiostik[7].
Pemikiran tokoh-tokoh dalam politik Islam dapat dikategorikan menjadi dua periode yakni periode pra modern dan modern. Kedua masa itu pada hakikatnya para pemikir politik Islam bergulat pada upaya untuk mencari basis intelektual dari hubungan politik dan Islam.
a. Pada masa pra modern pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran yunani, melalui kajian filsafat.
b.                        Sedangkan pada masa modern pengaruh politik barat terhadap politik Islam sudah masuk melalui imperalisme.
Upaya-upaya dalam pencarian basis intelektual tersebut bertujuan untuk mendapatkan aspek-aspek yang baru dari relasi antara Islam dan politik diantaranya.
Pertama, upaya untuk mencari sistem (the nature of autority).
Kedua, upaya untuk mencari format pemerintahan.
Ketiga, mencari rekonsiliasi atau titik temu antara realitas Islam dan realitas politik.[8]
Dikalangan Umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan politik.
Aliran pertama, berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pegertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla dan  Abul A’la al-Maududi.
Aliran kedua, berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Pendapat ini dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer diwakili oleh seorang ulama Mesir, Ali Abd ar-Raziq, dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang rasul dan juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara.
Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Salah satu tokoh yang mendukung pendapat ini diantaranya adalah Mohammad Husein Haekal, Fazlur Rahman dan di Indonesia tokohnya Nurcholish Madjid.[9]
Dalam bukunya Munawir Sadzali pemikiran politik Islam dibagi 2 zaman: 1. pada zaman klasik dan pertengahan. 2. Pada zaman kontemporer.
1.      Pada zaman klasik dan pertengahan, pemikiran politik Islam lahir dari beberapa ulama’/cendekiawan seperti Ibnu Abi Rabi’, Farabi, Mawardi, Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun dan sebagainya
2.      Pada zaman kontemporer, pemikiran politik Islam lahir dari beberapa ulama’/cendekiawan seperti Jamal al-Din Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rsyid Ridha, Ali Abd. Al-Rasiq dan sebagainya[10].
2.3  Sebab-sebab Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam
Pada masa Nabi SAW dan para Khulafa al Rasyidin, umat Islam bersatu, mereka satu akidah, satu siyasah, satu politik, satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat diatasi dengan wahyu. Awal mula adanya perselisihan dipicu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi) pada pemerintahan Usman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali bin Abu Tholib.
Awal mula timbulnya aliran politik pada masa khalifah Ustman bin Affan (setelah wafatnya), pada masa itu dilatarbelakangi oleh kepentingan kelompok yang mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya Khalifah Ustman. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abu Thalib, pada masa itu perpecahan umat Islam terus berlanjut. Umat Islam pada masa itu ada yang pro terhadap kekhalifahan Ali bin Abu Tholib, yang menamakan dirinya kelompok syiah, dan ada yang kontro dengan nama kelompok khawarij. Akhirnya perpecahan memuncak kemudian terjadilah perang jamal yaitu antara Ali dengan Aisyah dan perang Shiffin antara Ali dengan Muawiyah. Bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai aliran politik di kalangan umat Islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah, akhirnya jumlah aliran politik di kalangan umat Islammenjadi banyak seperti aliran Syiah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Mu’tazilah dll[11].
Masalah –masalah politik
1) Sesungguhnya kebanyakan orang-orang memeluk islam sesudah kemenangannaya, semula mereka memeluk berbagai agama, yaitu: Agama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme dan lain-lain.
2) Sesungguhnya golongan islam yang terdahulu terutama golongan Mu’tazilah memutuskan perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah islamiah dan bantahan alasan orang-orang yang memusuhi islam.
3) Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan faktor yang kedua. Yaitu sesungguhnya kebutuhan para mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi ) musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, maka mereka terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat logika, terutama dari segi Ketuhanan. Kita mengetahui An-Nadhami (tokoh Mu’tazilah) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak babarapa pendapatnya.
4) Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf. Yang akan dibicarakan disini ialah perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu: Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf.
5) Pengaruh Sosial Politik Terhadap Ilmu Kalam/Ilmu Tauhid. Apabila memperhatikan masalah khilafah ( bentuk pemerintahan ) dengan akal pikiran yang sehat, maka dapat disimpulkan bahwa masalah khilafah adalah soal politik belaka. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk Khilafah dengan sistem tertentu. Tetapi Agama hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum. Mengenai khilafah Ibnu Taimiyah memandang bahwa tata politik yang lahir di Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat adalah dispensasi khusus dari Allah dan menyebutnya khilafah an-nubuwwah. Ia berpendapat bahwa kekhalifahan ini juga memiliki sifat yang sui generic, yang tidak dapat terulang kembali didalam sejarah karena Nabi telah menyatakan; Kekhalifahan ini, hanya bertahan selama tiga puluh tahun setelah itu yang ada hanyalah politik dalam pengertian yang umum.
Perbedaan Pokok Aliran Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
 1. Khawarij:
 a) Doktrin Politik. Contohnya:
ü  Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
ü  Khalifah tidak harus berasal dari keturunan arab atau kabilah tertentu[12].
ü  Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh.dll
c. Latar belakang
 b) Doktrin teologis social. Contohnya:
ü  Amar ma’ruf nahi munkar
ü  Quran adalah makhluk
ü  Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan[13].
 2. Murji’ah:
 a) Bidang Politik,
 Murji’ah diimplementasikan dengan sikap politik netral atau non-blog, dan mereka selalu diam dalam persoalan politik.
 b) Bidang teologis,
 Memberi harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah, dan menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
 3. Mu’tazilah:
 a) Bidang politik,
 Menganut politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik.
 b) Bidang teologis,
 Mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Menurut Mu’tazilah bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.
4.      Syiah
Kebencian yahudi terhadap Islam tak berakhir. Ada banyak orang yahudi yang berpura-pura masuk agama islam untuk menyusup.Pada zaman umar, ada seorang keturunan yahudi bernama abu lu’luah yang berpura-pura beragama islam. ia berhasil menusuk umar bin khatab ketika umar mengimami jamaah shalat shubuh.
Selain abu lu’luah, ada Abdullah ibn Saba’, seorang pria berdarah Yahudi, yang juga datang ke madinah berpura-pura menjadi seorang muslim. Saat kekhilafahan ‘Ali ibn Abi Thalib, Ibn Saba’mulai menyebar fitnah. Ia menyanjung ‘Ali secara berlebih-lebihan, mendakwahkan adanya wasiat bagi ‘Ali tentang kekhilafahan setelah Rasulullah, dan lebih berbahaya dari itu semua ia mendakwahkan Ali sebagai seorang nabi, sampai kepada pengakuan bahwa dia adalah Allah. Ia pula orang pertama yang mencela Abu Bakar, Umar, Utsman dan sahabat lainnya. Fitnah lainnya, ia menyatakan bahwa Al Qur’an yang ada belum sempurna, sisanya ada pada Ali dan Ahli Bayt-nya.
Ibn Saba’ dibuang oleh Ali ke daerah yang bernama Madain karena kesalahannya. Namun di sanalah Ibn Saba mendapatkan kesempatan besarmenyebarkan kesesatannya. Danpenduduk Madain pun menyambut hangat ajakan Ibn Saba’.
Penduduk Madain mudah menerima ajakan Ibn Saba’ karena dahulu Madain adalah bagian dari kerajaan Persia, karajaan terbesar di dunia saat itu dan ditakuti masyarakat Arab.Madain lalu menjadi daerah kekuasaan Islam setelah ditaklukan oleh para prajurit Umar ibn Khathab yang datang dari pedalaman padang pasir. Di sana masih ada sebagian keturunan raja-raja Persia dan para hartawan menaruh benci dan permusuhan terhadap Islam yang telah menjatuhkan kerajaannya, menghancur leburkan peradabannya, dan memadamkan agama yang dianutnya, Majusi.
Hasil usaha Ibn Saba akhirnya berasil. Lahirlah Syi’ah sebagai kolaborasi kesesatan Yahudi dan Majusi dalam menghancurkan akidah Islam. Keyakinan keutamaan keturunan raja dalam agama Majusi terjadi pada Ali dan keturunannya. Kebencian terhadap sahabat, terutama Umar ibn Khathab yang telah mengusir Yahudi dari Jazirah Arab dan meruntuhkan kerajaan Persia, tertanam kuat di hati-hati mereka.








BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Siyasah syar’iyyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara yang menjamin perwujudan kemaslahatan dan penolakan kemidlaratandengan tidak melewati batas-batas syariah dan pokok-pokok syariah yang kully, meskipun tidak sesuai dengan pendapat-pendapat ulama’ mujtahid.
Rambu-rambu syari’ah yaitu :
1.      Dalil-dalil kully (baik yang tertuang dalam Al-Qur’an atau Hadist)
2.      Maqashid al-syariah
3.      Semangat ajaran, dan
4.      Kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah
Sebab-sebab timbulnya aliran politik dalam Islam secara Implisit tidak kami temukan, tapi nilai-nilainya secara eksplisit kami menemukan. Bahwa sebab-sebab timbulnya aliran politik berkaitan dengan aliran kalam, dan pentebab lahirnya aliran kalam salah satunya disebabkan aspek politik, maka kita sedikit mengupas tentang aliran kalam itu sendiri.
Faktor intern : karena tidak ada Nash tentang siyasah/politik baik dari Al-Qur’an dan hadist, sehingga umat Islam masa itu mencari referensi politik dari luar Islam.
Faktor Ekstern      : adanya misi tertentu dari umat non Muslim yang masih tertanam rasa iri akan kemajuan masa Nabi dan Khulafa’ur rasyidin dan melancarkan gerakan-gerakan tertentu.




[1] Prof. H.A. Djazuli. Fiqih Siyasah. Hlm 25-26
[2] Ibid. Hal 27-28
[3] Ibid. Hlm 28-29
[5] Prof. H.A. Djazuli. Fiqih Siyasah. Hlm 17

[6] Ibid. hlm 21-23
[7] Ibid hlm 25
[9] Ibid.
[10] H. Munawir Sjadzali, M.A. Islam dan tata negara. Hlm 41


0 komentar: